BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Dalam sistem pendidikan
Islam, pendidik dan peserta didik merupakan komponen penting. Pendidik adalah
orang yang memberi didikan kepada peserta didiknya, sedangkan peserta didik
adalah orang yang dididik oleh pendidik. Kedua komponen ini saling berinteraksi
dalam proses belajar mengajar untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang
diinginkan.
Peserta didik sebagai
orang yang harus diikuti keinginan pendidikannya, sedangkan pendidiklah yang
memberikan arahan kemana arah pendidikan peserta didik. Oleh karena itu,
pendidik sangat berperan besar sekaligus menentukan ke mana arah potensi
peserta didik yang akan dikembangkan.
Begitu halnya dengan
peserta didik, peserta didik tidak hanya sekedar objek pendidikan, tetapi
disaat-saat tertentu peserta didik akan menjadi subjek pendidikan. Hal ini
membuktikan bahwa peserta didik harus aktif, kreatif dan dinamis dalam
berinteraksi dengan pendidik atau gurunya dalam upaya pengembangan keilmuannya.
Untuk itu penulis akan membahas mengenai peserta didik tersebut.
B. Rumusan Masalah
1.
apa yang
dimaksud dengan peserta didik?
2.
Bagaimana kedudukan
peserta didik?
3.
Apa kebutuhan
dari peserta didik?
4.
Bagaimana dimensi-dimensi
peserta didik?
5.
Apa etika peserta
didik?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Peserta Didik
Peserta didik merupakan salah satu
komponen penting dalam suatu proses pendidikan Islam. Peserta didik artinya
orang yang ikut serta dalam proses pendidikan.
orang tersebut mengambil bagian dalam sistem atau jenis pendidikan
tertentu untuk menumbuhkan dan mengembangkan dirinya.
Ramayulis[1]
mendeskripsikan bahwa peserta didik adalah orang berada pada dalam fase
pertumbuhan dan perkembangan fisik maupun psikis, yang merupakan ciri dari
seseorang peserta didik yang perlu bimbingan dari seorang pendidik.
Menurut pasal
1 ayat 4 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, peserta didik
adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses
pendidikan pada jalur jenjang dan jenis pendidikan tertentu.[2]
Dengan
pendidikan seorang anggota masyarakat dikatakan sebagai peserta didik. Anggota
masyarakat yang berada pada fase pertumbuhan dan perkembangan, berusaha untuk
menumbuhkan dan mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada
jalur-jalur pendidikan.
Di dalam proses transformasi yang disebut
pendidikan, peserta didik merupakan “raw material” (bahan mentah). Pada sistem
pendidikan, “materil” ini berbeda dengan yang diterima oleh komponen-komponen
yang lain karena sistem pendidikan menerima “materil” sudah dalam keadaan setengah
jadi, sedangkan komponen-komponen lainnya masih dapat merumuskan dan menyesuaikannya
dengan keadaan-keadaan fasilitas dan kebutuhan-kebutuhan yang ada.[3]
Komponen lainnya masih membutuhkan proses-proses terlebih dahulu agar materil
ini benar-benar siap digunakan. Lain halnya sistem pendidikan, materil atau
peserta didik perlu untuk menumbuhkan yang menyangkut fisik dan mengembangkan
yang menyangkut psikis dalam diri dari seorang peserta didik.
Dengan berpijak pada paradigma “belajar sepanjang
masa”, maka istilah yang tepat untuk menyebut individu yang menuntut ilmu
adalah peserta didik dan bukan anak didik.[4] Syaiful
Bahri Djamarah[5] mengatakan bahwa setiap orang yang menerima
pengaruh dari orang lain dalam menjalankan kegiatan pendidikan adalah anak
didik. Peserta didik lebih luas cakupannya dari pada anak didik.[6] Siswa
atau anak didik adalah salah satu komponen manusiawi yang menempati posisi
sentral dalam proses belajar mengajar.[7]
Seorang manusia yang menjadi pusat pembelajaran karena memiliki memiliki tujuan
untuk dicapai.
Terdapat pula istilah yang memberikan arti untuk
peserta didik.
Dalam istilah
tasawuf, peserta didik sering kali disebut dengan “murid” atau thalib. Secara etimologi, murid berarti
orang yang menghendaki. Sedangkan menurut arti terminologi, murid adalah pencari
hakikat di bawah bimbingan dan arahan seorang pembimbing spiritual (mursyid). Sedangkan thalib secara bahasa berarti
orang yang sedang mencari, sedang menurut istilah tasawuf adalah penempuh jalan
spiritual, serta berusaha keras menempuh untuk mencapai derajat sufi.[8]
Penyebutan
murid ini juga dipakai untuk menyebut peserta didik pada sekolah tingkat dasar
dan menengah, untuk perguruan tinggi disebut dengan istilah mahasiswa. Setiap
lembaga-lembaga menyebut istilah peserta didik ini dengan berbeda-beda. Di
dalam keluarga peserta didik disebut dengan anak kandung, dalm kehidupan
masyarakat peserta didik adalah anak-anak penduduk, serta dalam suatu agama
peserta didik menjadi umat beragama.
B. Kedudukan
Peserta Didik
Peserta didik adalah pokok persoalan dalam suatu
proses pendidikan. Di dalam proses belajar mengajar peserta didik merupakan
pihak yang memiliki tujuan, pihak yang memiliki cita-cita yang ingin dicapai
secara optimal. Peserta didik akan menuntut dan melakukan sesuatu agar tujuan
belajarnya dapat terpenuhi. Jadi dalam proses belajar mengajar peserta didiklah
yang harus diperhatikan.
Peserta didik bukanlah binatang, peserta didik
adalah manusia yang memiliki akal untuk berfikir dalam kegiatan interaksi
edukatif. Peserta didik sebagai pokok persoalan dalam proses pendidikan, memiliki
kedudukan yang menentukan dalam sebuah interaksi, dalam semua kegiatan
pendidikan dan pengajaran.[9]
Dalam kegiatan pendidikan peserta didik juga berhak dalam berinteraksi. Peserta
didik memiliki hak untuk mendapatkan pengajaran yang efektif. Jangan menganggap
peserta didik sebagai binatang yang tidak dipandang oleh sebagian manusia.
Pendidikan merupakan suatu keharusan yang harus
diberikan kepada peserta didik atau anak didik. Peserta didik sebagai manusia
yang memiliki akal, harus dibina dan dibimbing sebaik mungkin dengan perantara
pendidik atau guru. Pendidik haruslah memahami hakikat peserta didiknya sebagai
subjek dan objek pendidikan dalam proses belajar mengajar.[10]
Apabila pendidik tidak memahami betul keinginan dari peserta didiknya maka akan
terjadi kegagalan dalam proses belajar mengajar. Untuk itu pedidik atau guru
tidak memiliki arti apa-apa jika tanpa kehadiran peserta didik sebagai subjek
dalam proses pembelajaran.
Peserta didik
merupakan inti, sentral, pokok persoalan, dan subjek dalam proses belajar
mengajar. Tidak tepat jika dikatakan bahwa peserta didik itu sebagai objek
pendidikan. Pandangan yang menganggap siswa atau anak didik itu sebagai objek,
sebenarnya pendapat usang yang terpengaruh oleh konsep Tabularasa bahwa anak didik diibaratkan sebagai kertas putih yang
dapat ditulisi sekehendak hati oleh para guru atau pengajarnya.[11]
Dalam
kutipan diatas, yang menjadi subjek dalam proses pendidikan ialah yang menjadi
pesertanya atau peserta didik. Sedangkan yang menganggap bahwa peserta didik
adalah objek pendidikan ialah pendapat yang terpengaruh dalam suatu konsep
bahwa peserta didik hanya sebagai kertas putih, kemauan seorang pendidik
memperlakukan kertas tersebut. Dalam konsep ini pula, peserta didik hanyalah
sebuah barang, terserah seorang pendidik atau guru mempergunakannya. Konsep ini
pendidik akan sangat dominan dalam suatu proses pendidikan.
Dengan
diakuinya keberadaan seorang peserta didik dalam kehadiran proses belajar
mengajar, maka tugas dari seorang pendidik atau guru adalah memberikan bantuan,
arahan dan bimbingan kepada peserta didik menuju kesempurnaan atau tujuan yang
ingin di capainya. Untuk itu pendidik terlebih dahulu harus mengetahui kriteria
dari peserta didik.
Adapun
kriterianya menurut Syamsul Nizar yaitu:
1. Peserta
didik bukanlah miniatur orang dewasa tetapi memiliki dunianya sendiri.
2. Peserta
didik memiliki periodasi perkembangan dan pertumbuhan.
3. Peserta
didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individu baik disebabkan
oleh faktor bawaan maupun lingkungan dimana ia berada.
4. Peserta
didik merupakan dua unsur utama jasmani dan rohani, unsur jasmani memiliki daya
fisik, dan unsur rohani memiliki daya akal hati nurani dan nafsu.
5. Peserta
didik adalah manusia yang memiliki potensi atau fitrah yang dapat dikembangkan
dan berkembang secara dinamis.[12]
C. Kebutuhan
Peserta Didik
Kebutuhan peserta didik merupakan sesuatu
kebutuhan yang harus didapatkan oleh peserta didik untuk mendapat keberhasilan
tujuan pendidikannya. L.J. Cronbacah[13]
mengemukakan kebutuhan peserta didik. Kebutuhan peserta didik tersebut wajib
dipenuhi atau diberikan oleh pendidik kepada peserta didiknya agar tujuan dari
pendidikan terpenuhi. Adapun kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi oleh
pendidik yaitu:
1. Kebutuhan fisik; fisik peserta didik mengalami
pertumbuhan fisik yang cepat terutama pada masa pubertas. Kebutuhan biologis,
yaitu berupa makan, minum dan istirahat, dimana hal ini menuntut peserta didik
untuk memenuhinya. Peserta didik remaja lebih banyak porsi makannya
dibandingkan anak-anak, dan orang dewasa atau tua.
2. Kebutuhan sosial; salah satu upaya untuk memenuhi
kebutuhan sosial peserta didik atau anak didik yaitu pemenuhan keinginan untuk
saling bergaul sesama peserta didik dan pendidik serta orang lain.[14]
Dalam hal ini sekolah dilihat sebagai lembaga tempat para peserta didik
belajar, bergaul dan beradaptasi dengan linkungan. Pendidik atau guru harus
dapat menciptakan suasana kerja sama antar peserta didik dengan harapan dapat
member pengalaman belajar yang lebih baik. Pendidik harus dapat membangkitkan
semangat kerja sama sehingga dapat dikembangkan sebagai metode untuk
mengajarkan sesuatu.
3. Kebutuhan untuk mendapatkan status; pada usia remaja
peserta didik membutuhkan suatu yang dapat menjadikan peserta didik berguna bagi masyarakat.[15]
Kebutuhan mendapatkan status merupakan suatu yang dibutuhkan oleh peserta didik
untuk mendapatkan tempat dalam suatu lingkungan. Hal ini sangat dibutuhkan oleh
peserta didik untuk menumbuhkan sikap kemandirian, identitas serta menumbuhkan
rasa kebanggaan diri dalam lingkungan masyarakat. Dalam proses memperoleh
kebutuhan ini biasanya seorang peserta didik ingin menjadi orang yang dapat
dibanggakan atau dapat menjadi seorang yang benar-benar berguna dan dapat berinteraksi
secara sempurna di dalam sebuah lingkungan masyarakat.
4. Kebutuhan mandiri; peserta didik pada usia remaja
ingin lepas dari batasan-batasan atau aturan orang tuanya dan mencoba untuk
mengarahkan dan mendisiplinkan dirinya sendiri.[16] Terkadang
peserta didik ingin lepas dari perlakuan orang tuanya yang terlalu
berlebih-lebihan dan merasa orang tuanya tersebut sering mencampuri urusan
anak-anaknya. Hal ini membuat peserta didik merasa tidak dipercayai dan
dihargai oleh orang tuanya, sehinnga muncul sikap menolak dan terkadang
memberontak. Meskipun peserta didik masih menginginkan bantuan orang tua.
5. Kebutuhan untuk berprestasi; untuk mendapatkan
kebutuhan ini maka peserta didik harus mampu mendapatkan kebutuhan mendapatkan
status dan kebutuhan mandiri terlebih dahulu. Karena kedua hal tersebut sangat
erat kaitannya dengan kebutuhan berprestasi. Ketika peserta didik telah
mendapatkan kedua kebutuhan tersebut, maka secara langsung peserta didik akan
mampu mendapatkan rasa kepercayaan diri dan kemandirian, kedua hal inilah yang
akan menuntut langkah peserta didik untuk mendapatkan prestasi.
6. Kebutuhan ingin disayangi dan dicintai; rasa ingin
disayangi dan dicintai merupakan kebutuhan yang esensial, karena dengan
terpenuhi kebutuhan ini akan mempengaruhi sikap mental peserta didik. Banyak
anak-anak yang tidak mendapatkan kasih sayang dari orang tua, guru dan
lain-lainnya mengalami prestasi dalam hidup. Dalam agama cinta kasih yang
paling tinggi diharapkan dari Allah swt. itu sebabnya setiap orang berusaha
mencari kasih sayang dengan mendekatkan diri kepadanya.[17]
7. Kebutuhan untuk curhat; Kebutuhan peserta didik
untuk mencurahkan isi hatinya biasanya ditujukan untuk mengurangi beban masalah
yang peserta didik hadapi. Pada hakekatnya ketika seorang yang tengah mengalami
masa pubertas membutuhkan seorang yang dapat diajak berbagi atau curhat.
Sebaliknya jika peserta didik tidak mendapatkan kesempatan untuk membicarakan
masalah yang dihadapi peserta didik sehingga muncul tingkah laku yang bersifat
negatif dan perilaku menyimpang.
8. Kebutuhan untuk memiliki filsafat hidup; peserta
didik pada usia remaja mulai tertarik untuk mengetahui tentang kebenaran dan
nilai-nilai ideal. Peserta didik memiliki keinginan untuk mengenal apa tujuan
hidup dan bagaimana kebahagian itu diperoleh.[18]
9. Kebutuhan intelektual; setiap peserta didik memiliki
minat yang berbeda untuk mempelajari suatu ilmu pengetahuan. Minat yang seperti
ini tidak dapat dipaksakan begitu saja. Pendidik atau guru dapat menciptakan
program yang dapat menyalurkan minat masing-masing peserta didik untuk mencapai
hasil yang optimal.[19]
D.
Dimensi-Dimensi Peserta Didik
Menurut Widodo Supriyono[20],
manusia merupakan makhluk multidimensional yang berbeda dengan makhluk-makhluk
lainnya. Secara garis besar Widodo
Supriyono membagi manusia dimensi menjadi dua, yaitu dimensi fisik dan rohani.
Secara rohani, manusia mempunyai potensi kerohanian yang tidak terhingga
banyaknya. Sedangkan menurut Zakiah Daradjat[21],
membagi manusia menjadi tujuh dimensi pokok, yaitu dimensi, akal, agama,
akhlak, kejiwaan, rasa keindahan, dan sosial kemasyarakatan. Melalui pendidikan
Islam, semua dimensi tersebut harus ditumbuh kembangkan. Adapun dimensi-dimensi
yang dimiliki oleh peserta didik yaitu, diantaranya:
1. Dimensi fisik atau jasmani; Fisik atau jasmani
terdiri atas organisme fisik. Organisme fisik manusia lebih sempurna
dibandingkan organisme-organisme makhluk lainnya. Pada dimensi ini, proses
penciptaan manusia memiliki kesamaan dengan hewan atau tumbuhan, sebab semuanya
termasuk dari alam.
2. Dimensi akal; Al-Ishfahami[22],
membagi akal manusia menjadi dua macam yaitu Aql Al-Mathhu’ merupakan akal yang menduduki posisi yang sangat
tinggi, namun tidak bias berkembang tanpa adanya kekuatan dari akal lainnya,
dan Aql al-masmu yaitu akal yang
merupakan kemampuan menerima yang dapat dikembangkan oleh manusia. Keberadaan
akal Aql al-masmu tidak dapat
dilepaskan karena untuk mengarahkan agar akal tetap berada di jalan tuhannya.
Akal ini bersifat aktif dan berkembang sesuai dengan kemampuan yang dimlikinya
lewat proses panca indera.
Sedangkan fungsi akal manusia
terbagi kepada enam yaitu:
a.
Akal adalah penahan nafsu.
b. Akal
adalah pengertian dan pemikiran yang berubah-ubah dalam menghadapi sesuatu baik
yang tampak jelas maupun yang tidak jelas.
c. Akal
adalah petunjuk yang membedakan hidayah dan kesesatan.
d. Akal
adalah kesadaran batin dan pengaturan.
e. Akal
adalah pandangan batin yang berdaya tembus melebihi penglihatan mata
f.
Akal adalah daya ingat mengambil
dari masa lampau untuk masa yang akan dihadapi.[23]
Akal pada diri manusia tidak dapat berdiri sendiri,
akal membutuhkan bantuan hati agar dapat memahami sesuatu yang bersifat gaib
seperti halnya ketuhanan, mu’jizat, wahyu dan mempelajarinya lebih dalam. Akal
yang seperti ini adalah potensi dasar manusia sejak lahir. Potensi ini perlu
mendapatkan bimbingan serta didikan agar tetap mampu berkembang kearah yang
positif.
3.
Dimensi
keberagamaan; Manusia adalah makhluk yang berketuhanan atau disebut homodivinous (makhluk yang percaya adanya Tuhan) atau disebut homo religious artinya makhluk yang
beragama. Berdasarkan hasil riset dan
observasi, hampir seluruh ahli ilmu jiwa sependapat bahwa pada diri manusia
terdapat semacam keinginan dan kebutuhan yang bersifat universal. Kebutuhan ini
melebihi kebutuhan-kebutuhan lainnya, bahkan mengatasi kebutuhan akan
kekuasaan. Keinginan akan kebutuhan tersebiut merupakan kebutuhan kodrati,
berupa keinginan untuk mencintai dan dicintai Tuhan.[24]
4.
Dimensi akhlak;
Salah
satu dimensi manusia yang sangat diutamakan dalam pendidikan Islam adalah
akhlak. Dalam Islam akhlak sangat erat kaitannya dengan pendidikan agama
sehingga dikatakan bahwa akhlak tidak dapat lepas dari pendidikan agama. Akhlak
menurut pengertian Islam adalah salah satu hasil dari iman dan ibadat, karena
iman dan ibadat manusia tidak sempurna kecuali kalau dari dari awal muncul
akhlak yang mulia. Maka akhlak dalam Islam bersumber pada iman dan taqwa dan
mempunyai tujuan langsung yang dekat yaitu diri dan tujuan jauh, yaitu ridha
dari Allah SWT.[25]
5.
Dimensi rohani (kejiwaan);
Tidak
jauh berbeda dengan dimensi akhlak, dimensi rohani adalah dimensi yang sangat
penting dan harus ada pada peserta didik. Hal ini dikarenakan rohani (kejiwaan)
harus dapat mengendalikan keadaan manusia untuk hidup bahagia, sehat, merasa
aman dan tenteram. Penciptaan manusia tidak akan sempurna sebelum ditiupkan
oleh Allah sebagian ruh baginya.[26] Dimensi
kejiwaan merupakan suatu dimensi yang sangat penting, dan memiliki pengaruh
dalam mengendalikan keadaan manusia agar dapat hidup sehat, tentreram dan
bahagia. Penciptaan manusia mengalami kesempurnaan setelah Allah swt. meniupkan
sebagian ruh ciptaan-Nya.
6.
Dimensi seni (keindahan);
Seni
adalah ekspresi roh dan daya manusia yang mengandung dan mengungkapkan
keindahan. Seni adalah bagian dari hidup manusia. Allah swt. telah
menganugerahkan kepada manusia berbagai potensi rohani maupun indrawi (mata, telinga,
dan lain sebagainya). Seni sebagai salah satu potensi rohani, maka nilai seni
dapat diungkapkan oleh perorangan sesuai dengan kecenderungannya, atau oleh
sekelompok masyarakat sesuai dengan budayanya, tanpa adanya batasan yang ketat
kecuali yang digariskan Allah swt.[27]
7.
Dimensi sosial;
Seorang
manusia adalah makhluk individual dan secara bersamaan adalah makhluk sosial.
Dimensi sosial bagi manusia sangat erat kaitannya dengan sebuah golongan,
kelompok, maupun lingkungan masyarakat. Lingkungan terkecil dalam dimensi
sosial adalah keluarga, yang berperan sebagai sumber utama peserta didik untuk
membentuk kedewasaan. Didalam islam dimensi sosial dimaksudkan agar manusia
mengetahui bahwa tanggung jawab tidak hanya diperuntukkan pada perbuatan yang
bersifat pribadi namun perbuatan yang bersifat umum. Dalam dimensi sosial
seorang peserta didik harus mampu menjalin ikatan yang dinamis antara keperntingan pribadi dengan kepentingan sosial. Ikatan sosial
yang kuat akan mendorong setiap manusia untuk peduli akan orang lain, menolong
sesama serta menunjukkan keimanan kepada Allah swt.[28]
E. Etika Peserta Didik
Etika peserta didik merupakan
sesuatu yang harus dilaksanakan dalam proses pembelajaran baik secara langsung
maupun tidak langsung, harus dilakukan
peserta didik agar tujuan pendidikan dapat tercapai dengan baik Al-Ghazali[29] merumuskan
ada sebelas kewajiban peserta didik. Adapun
diantara etika tersebut yaitu:
1.
Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqaruh kepada Allah swt, sehingga dalam
kehidupan sehari-hari anak didik dituntut untuk mensucikan jiwanya dari akhlak
yang rendah dan watak yang tercela,
2.
Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan
masalah ukhrawi,
3.
Bersikap tawadhu’ (rendah hati),
4.
Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang
dipelajari. Memprioritaskan
ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
Serta mengenal
nilai-nilai pragmatis, serta
5.
Anak didik harus tunduk pada nasehat pendidik.
Pada
hakikatnya peserta didik harus beretika yang baik agar para pendidik bersesia
membantu, membimbing peserta didik ke tujuan yang ingin dicapainya. Tidak hanya
etika-etika tersebut yang harus diperhatikan juga peserta didik harus
memperhatikan kewajibannya sebagai peserta didik. Adapun kewajiban dari peserta
didik menurut Al-Ghazali[30] diantaranya:
1.
Mendahulukan
kesucian jiwa,
2.
Bersedia
merantau untuk mencari ilmu pengetahuan,
3.
Jangan
menyombongkan ilmunya dengan menentang guru, dan
4.
Mengetahui
kedudukan ilmu pengetahuan.
5.
BAB
III
PENUTUP
Peserta
didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui
proses pendidikan pada jalur jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Peserta didik
memiliki kedudukan sebagai sentral pendidikan, pokok persoalan dalam pendidikan
Islam karna peserta didiklah yang memiliki tujuan serta cita-cita yang ingin
dicapainya, jadi tugas dari seorang pendidik atau guru adalah memberikan
bantuan, arahan dan bimbingan kepada peserta didik menuju kesempurnaan atau
tujuan yang ingin di capainya tersebut.
Untuk
itu seorang pendidik atau guru harus memahami betul kebutuhan-kebutuhan dari
peserta didiknya, baik itu kebutuhan fisiknya, kebutuhan sosialnya, kebutuhannya
untuk mendapatkan status, kebutuhan mandirinya, kebutuhannya untuk berprestasi,
disayangi dan dicintai, berfilsafat, serta kebutuhannya untuk berintelektual. Juga
pendidik harus mengetahui apa-apa yang menjadi dimensi dari peserta didik yaitu
dimensi fisik, akal, dimensi agama, akhlak, rohani, seni, serta dimensi
sosialnya.
Bukan
hanya untuk para pendidik yang harus memperhatikan peserta didik, tapi peserta
didik pun harus menghargai posisi pendidik sebagai pembina, pembimbing. Peserta
didik harus beretika serta harus memperhatikan kewajibannya terhadap pendidik
serta orang-orang disekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Djamarah,
Syaiful Bahri. Guru Dan Anak Didik Dalam
Interaktif Edukatif. Jakarta: Rineka
Cipta, 2000.
Mujib, Abdul. Ilmu Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarta: Kencana, 2006.
Ramayulis.
Ilmu Pendidikan Islam. Cet. VI; Jakarta:
Kalam Mulia,
2008.
Rosyadi,
Khoiron. Pendidikan Profetik. Cet. I;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Sardiman.
Interaksi Dan Motivasi Belajar
Mengajar.
Cet. III; Jakarta: Rajawali, 1990.
[1] Peserta didik
secara formal adalah orang yang sedang berada pada fase pertumbuhan dan
perkembangan baik secara fisik maupun psikis, pertumbuhan dan perkembangan
merupakan ciri dari seseorang peserta didik yang perlu bimbingan dari seorang
pendidik. (Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Cet. VI; Jakarta: Kalam Mulia, 2008). h.77).
[2] Ramayulis. Loc. Cit.
[3]Peserta didik
merupakan “raw material” (bahan mentah) di dalam proses transformasi yang
disebut pendidikan. Berbeda dengan komponen-komponen lain dengan sistem
pendidikan karena kita menerima “materil” ini sudah setengah jadi, sedangkan
komponen-komponen lain dapat dirumuskan dan disesuaikan dengan keadaan
fasilitas dan kebutuhan yang ada. (Ramayulis. Loc. Cit.).
[5] Anak didik
adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang
yang menjalankan kegiatan pendidikan. (Syaiful Bahri Djamarah, Guru Dan Anak Didik Dalam Interaktif
Edukatif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000). h.
51).
[6] Peserta
didik cakupannya lebih luas, yang tidak hanya melibatkan anak-anak, tetapi juga
pada orang-orang dewasa. Sementara istilah anak didik hanya dikhususkan bagi
individu yang berusia kanak-kanak. (Abdul Mujib. Loc. Cit.).
[7] Sardiman, Interaksi Dan Motivasi
Belajar Mengajar, Ed. I(Cet. III; Jakarta: Rajawali, 1990). h.
109.
[9] Anak
didik bukan binatang, tetapi ia adalah manusia yang mempunyai akal. Anak didik
adalah unsur manusiawi yang penting dalam kegiatan interaksi edukatif. Ia
dijadikan sebagai pokok persoalan dalam semua gerak kegiatan pendidikan dan
pengajaran. Sebagai pokok persoalan, anak didik memiliki kedudukan yang menempati
posisi yang menentukan dalam sebuah interaksi. (Syaiful
Bahri Djamarah. Loc. Cit.).
[10] Dalam
proses belajar mengajar, seorang pendidik harus sedapat mungkin memahami
hakikat peserta didiknya sebagai subjek dan objek pendidikan. (Abdul
Mujib. Loc. Cit.).
[13] Kebutuhan
peserta didik yaitu kebutuhan affeksi (kasih sayang), kebutuhan diterima oleh
orang tua, kebutuhan untuk dapat diterima oleh kawan kelompok sebaya, kebutuhan
independen dan kebutuhan harga diri. (Khoiron Rosyadi. Pendidikan Profetik (Cet.I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).
h.195).
[14] Pemenuhan
keinginan untuk saling bergaul sesama siswa dan guru serta orang lain,
merupakan salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan sosial anak didik/siswa. (Sardiman. Op. Cit., h. 112).
[15] Kebutuhan
untuk mendapatkan status; peserta didik terutama pada usia remaja membutuhkan
suatu yang menjadikan dirinya berguna bagi masyarakat. (Ramayulis. Op. Cit., h. 79).
[19] Kebutuhan
intelektual; setiap siswa tidak sama dalam hal minat untuk mempelajari sesuatu
ilmu pengetahuan. Mungkin ada yang lebih berminat belajar ekonomi, sejarah,
biologi, atau yang lain-lain. Minat semacam ini tidak dapat dipaksakan kalau
ingin mencapai hasil yang optimal. Oleh karena itu yang penting, bagaimana guru
dapat menciptakan program yang dapat menyalurkan minat masing-masing. (Sardiman. Op. Cit., h. 112).
[20] Menurut Widodo
Supriyono, manusia merupakan makhluk multidimensional yang berbeda dengan
makhluk-makhluk lainnya. Ia membagi manusia pada dua dimensi yaitu dimensi
fisik dan rohani. Secara rohani, manusia mempunyai potensi kerohanian yang
tidak terhingga banyaknya. Potensi-potensi tersebut nampak dalam bentuk
memahami sesuatu (ulil albab), data
berpikir/merenung, mempergunakan akal, dapat beriman, bertaqwa, mengingat atau
mengambil pelajaran, mendengar kebenaran firman Tuhan, dapat berilmu,
berkesenian, dapat menguasai teknologi tepat guna dan terakhir manusia lahir ke
dunia telah membawa fitrah.(Ramayulis. Op. Cit., h.
82).
[21] Zakiah Daradjat
membagi manusia kepada tujuh dimensi pokok yang masing-masingnya dapat dibagi
kepada dimensi-dimensi kecil. Ketujuh dimensi tersebut adalah: dimensi, akal,
agama, akhlak, kejiwaan, rasa keindahan, dan sosial kemasyarakatan. Semua
dimensi tersebut harus tumbuh kembangkan melalui pendidikan islam. (Ramayulis. Loc. Cit.).
[22] Al-Ishfahami,
membagi akal manusia menjadi dua macam yaitu: 1.Aql Al-Mathhu’ yaitu akal yang
merupakan pancaran dari Allah SWT sebagai fitrah Illahi. 2.Aql al-masmu yaitu
akal yang merupakan kemampuan menerima yang dapat dikembangkan oleh manusia.(
Ramayulis. Op. Cit., h. 85).
[26] Dimensi kejiwaan merupakan suatu dimensi yang sangat
penting, dan memiliki pengaruh dalam mengendalikan keadaan manusia agar dapat
hidup sehat, tentreram dan bahagia. Penciptaan manusia mengalami kesempurnaan
setelah Allah swt. meniupkan sebagian ruh ciptaan-Nya. (Ramayulis. Op. Cit., h. 90-91).
[29] Al-Ghazali merumuskan
ada sebelas kewajiban peserta didik, yaitu: 1.Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqaruh
kepada Allah swt, sehingga dalam kehidupan sehari-hari anak didik dituntut
untuk mensucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela. 2.Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan
masalah ukhrawi.
3.Bersikap tawadhu’ (rendah hati) dengan cara meninggalkan
kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidikannya. 4.Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari
berbagai aliran.
5.Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrawi
maupun untuk duniawi.
6.Belajar dengan bertahap dengan cara memulai pelajaran
yang mudah menuju pelajaran yang sukar. 7.Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian hari beralih pada ilmu yang
lainnya, sehingga anak didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara
mendalam.
8.Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang
dipelajari.
9.Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu
duniawi.
10.Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu
pengetahuan, yaitu ilmu yang dapat bermanfaat dalam kehidupan dinia akhirat. 11.Anak didik harus tunduk pada nasehat pendidik. (Ramayulis. Op. Cit., h. 119).
[30] Khoiron Rosadi.
Op. Cit., h. 203-205.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar